Islam Agama Kerja


“.. Dan bekerjalah, Wahai Keluarga Daud, sebagai (ungkapan) syukur (kepada Allah) (QS 34;14)

Banyak orang memberikan gambaran orang Islam yang baik dan taat, adalah semata-mata dari berapa banyak dia melakukan shalat sunat, doa-doa, dzikir-dzikir, dan lain-lain. Sangat jarang orang mengaitkan ketaatan beragama misalnya dengan bagaimana dia giat bekerja, tegar berusaha, rajin di laboratorium atau berperilaku hemat. Bahkan kadang orang yang “terlalu” giat bekerja dicap sebagai orang yang jauh dari agama.

Tentu benar, ketaatan beribadah (dalam arti ritual) menjadi syarat mutlak ketaatan seseorang, namun sesungguhnya kalau kita kaji lebih dalam Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kerja, amal saleh (yang artinya perbuatan baik), atau action. Kerja adalah bagian penting dari ibadah. Islam adalah agama kerja.

Berikut, akan disampaikan sepintas ilustrasi bagaimana Islam sesungguhnyam meninggikan nilai kerja, amal nyata, atau action yang berguna bagi lingkungan dan bagi sesama.

Kerja adalah Pesan Moral dan Tindak Lanjut dari Ibadah Ritual Kalau kita perhatikan ibadah (ritual) dalam Islam memiliki bentuk yang sangat khas dibanding dengan agama lain. Apa itu? Jika ibadah dalam agama lain
dilakukan dengan kondisi relatif diam, tenang, dan pasif, maka ibadah dalam Islam sangat dinamis, dan penuh dengan gerakan-gerakan. Contoh sangat nyata adalah shalat. Shalat adalah ibadah yang sangat sentral dan teragung dalam Islam, bahkan menjadi batas keimanan seseorang atau tidak. Kalau kita amati, shalat dari awal sampai dengan akhir, disertai dengan gerakan seluruh tubuh kita. Apalagi haji, sebagai ibadah paripurna seorang muslim. Haji adalan ibadah total action, sangat penuh dengan gerakan fisik. Kalau shalat meski penuh gerakan namun di tempat saja, maka haji gerakannya melintasi tempat yang jauh. Begitu juga puasa, zakat, semuanya action.

Ibadah adalah penghambaan kepada Allah semata, namun semua ibadah kita harus memiliki implikasi kerja, implikasi sosial. Bahkan tata urutan ibadah selalu terkait dengan kerja. Shalat, misalnya, didasari dengan wudlu (penyucian diri), diawali dengan takbir (pengagungan kepada Allah), dan diakhiri dengan salam ke kanan dan kekiri. Salam adalah menyebarkan kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan. Pesannya sangat jelas! Kegiatan ibadah shalat berupa ibadah penyucian diri, dan mengagungkan Allah, harus dibuktikan dengan menyebarkan kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan kepada lingkungan. Dan itu –tidak bisa tidak- dilakukan dengan kerja, action.

Secara jelas Al-Quran menyebut pesan moral atau tujuan dari shalat berkaitan dengan kerja. “…dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar” (QS Al-Ankabut: 45)

Begitu juga ibadah shaum (puasa) yang merupakan ibadah pengendalian nafsu dan penyucian diri, diakhiri dengan zakat fitrah, yaitu berbagi kepada sesama. Tidak berbeda dengan shalat, puasa juga harus mampu melahirkan semangat kerja. Haji diawali dengan wukuf (berdiam diri), dilanjutkan dengan tawaf, melempar jumrah, dan saí. Semuanya action.

Semua kegiatan ibadah memiliki benang merah yang sama. Kegiatan ibadah adalah merupakan penyucian jiwa, pengisian dengan sifat-sifat suci Allah, pengagungan dan berkomunikasi dengan Allah, yang harus diwujudkan dalam amal shaleh – kerja- kepada sesama.

Dinamisnya ibadah dalam Islam juga terlihat pada arsitektur masjid. Berbeda engan tempat ibadah agama lain yang dirancang tertutup, sepi, kadang kalau perlu gelap, jauh dari keramaian. Masjid selalu bercirikan terang, terbuka, banyak jendela, dan berada di dalam pusat aktivitas manusia. Bahkan dalam sejarah Nabi, pengaturan umat selalu dilakukan di dalam masjid.

Ketinggian Kerja dalam Al-Quran dan Sunah Nabi. Al-Quran dalam banyak sekali ayat, menyebutkan bahwa iman saja tidak cukup, tetapi harus disertai dengan amal shaleh, kerja, action. Tidak cukup iman saja tetapi harus dimanifestasikan dengan amal. Cukuplah, dinukilkan surat Al-Ashr untuk mewakili ayat-ayat tentang iman dan amal shaleh.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Dari ciri-ciri orang yang tidak rugi, selain keimanan semuanya berkaitan dengan kerja; amal shaleh, menasehati, menaati kebenaran, menetapi kesabaran.

Al-Quran juga memerintahkan agar kita selalu mencari karunia Allah di bumi dengan bekerja sebagai ungkapan rasa syukur, bahkan setelah shalat pun kita dianjurkan untuk segera bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Sebagaimana disebut dalam ayat-ayat berikut:

“.. Dan bekerjalah, Wahai Keluarga Daud, sebagai (ungkapan) syukur (kepada Allah) (QS 34;14) “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya.” (QS 67: 15) “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”( QS 62: 10)

Dalam hadis juga banyak diungkapkan tentang orang-orang yang utama, kebanyakan berkaitan dengan kerja, tindakan, action. Berikut di antaranya hadis-hadis yang terkenal:

“Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik perangainya/ akhlaqnya”
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”
“Muslim yang terbaik adalah muslim yang muslim lainnya selamat/merasa aman dari gangguan lisan dan tangannya.”
“Sebaik-baik kamu adalah yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya”
“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik (berperilaku) kepada keluarganya”
“Tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah”
“Sebaik-baik kamu ialah orang yang mempertahankan keluarganya selagi perbuatan itu tidak membawa kepada dosa”
“Barangsiapa yang menjadi susah pada petang hari kerana kerjanya, maka
terampunlah dosanya.” (Hadis riwayat Tabrani)

Bekerja bukan hanya dianjurkan untuk memberi manfaat kepada manusia, tetapi juga sangat dipuji jika bermanfaat bagi makhluk yang lain.

Rasulullah S.A.W. bersabda, “Seorang muslim yang menanam atau menabur benih, lalu ada sebahagian yang dimakan oleh burung atau manusia, atapun oleh binatang, nescaya semua itu akan menjadi sedekah baginya” (Riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Ketika menyebutkan ciri-ciri orang yang beriman, baik dalam Al-Quran selalu menyebut dengan amal, kerja, kegiatan, atau action. Misalnya ciri-ciri orang beriman dalam surat Al-Mukminun 1-11, yang menyebutkan ciri orang beriman sebagai orang yang khusyu shalat, berzakat, meninggalkan perbuatan yang sia-sia, menjaga kehormatan (kemaluan), dan menjaga amanat. Dalam Hadis terkenal misalnya ciri orang beriman adalah berkata baik atau diam, menghormati tetangga. Kebanyakan ciri-ciri orang beriman berkaitan dengan amal nyata atau kerja.

Suatu ketika, Rasulullah mencium tangan kasar seseorang karena bekerja keras sebagai pemecah batu dan beliau memujinya bahwa tangan itu dicintai Allah. Subhanallah! …..

Kerja Keras Para Nabi dan Orang-orang Shalih Kemudian kalau kita pelajari sejarah para Nabi AS, apalagi sejarah Nabi Muhammad SAW, para sahabat Nabi, hingga zaman keemasan Islam semua memiliki teladan yang sama, yaitu kerja keras membangun diri dan masyarakat. Tidak ada satu pun contoh-contoh dari mereka yang hanya mementingkan ibadah ritual semata.

Sebagai contoh akan diulas singkat teladan Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW. Di antara para rasul yang paling banyak dikisahkan dalam Al Quran adalah Nabi Musa AS. Kalau dilihat kisahnya, berisi perjuangan luar biasa membina masyarakat Bani Israil. Mulai dari hijrah bertemu Nabi Syuaib AS, menghadapi Firaun, memimpin exodus besar-besaran Bani Israil dari Mesir ke Palestina yang memakan waktu puluhan tahun, hingga yang sangat menyita waktu adalah memberi dakwah kepada Bani Israil yang sangat “ngeyel”.

Begitu juga Nabi Muhammad SAW, beliau tidak hanya menghabiskan waktu untuk berzikir saja. Baik pada periode Makkah maupun Madinah, beliau bekerja keras mendakwahkan Islam person to person, membina mental sahabat, membentuk kader, membangun masyarakat, memimpin perang, mengatur strategi, membuat perundingan, dan lain-lain. Kalau kita pelajari detil sejarah Nabi Muhammad SAW, kita dapati hari demi hari, tahun demi tahun yang penuh perjuangan dan kerja keras bersama para sahabat. Pada saat Rasulullah SAW wafat umat Islam menguasai hampir seluruh jazirah Arab.

Hal ini dilanjutkan oleh para Khalifah Rasyidah, hingga dalam waktu singkat (terutama masa Umar Al-Faruq) Islam menyebar dengan penaklukan Persia (superpower masa itu) ke barat hingga ke Afrika berhadapan dengan Bizantium (superpower yang lain). Kemudian sejarah berlanjut hingga penaklukan Eropa, India, sehingga umat Islam menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan pada saat itu. Sejarah yang luar biasa! Dan itu dicapai dengan kerja keras, bukan hanya ibadah ritual semata.

Secara pribadi, kita juga mendapati Rasulullah SAW dan para sahabat adalah orang-orang yang menyukai kerja. Rasulullad SAW selain bekerja untuk umatnya, beliau melubangi sendiri sandalnya, menambal sendiri bajunya, memeras sendiri susu kambingnya dan melayani keluarga. Subhanallah, Rasulullah adalah pemimpin sejati!

Kerja: Gerak Universal alam semesta. Al-Quran memuat sangat banyak kejadian-kejadian alam semesta, bahkan menurut Dr Mahdi Ghulsyani (cendekiawan muslim Iran) hingga 10% dari ayat-ayat Al-Quran. Semua berpusat pada ketundukan, tasbih dan sujud jagad raya pada Tuhannya. Salah satu di antaranya, “Bertasbihlah kepada Allah semua yang ada di langit dan di bumi, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS 61:1)

Kita tidak tahu bagaimana tasbih alam semesta, namun manifestasinya sangat jelas. Manifestasi dari tasbih dan sujud alam semesta adalah aneka kerja yang kontinu dan teratur dari alam semesta. Gerakan aneka benda langit pada orbitnya, reaksi fusi bintang-bintang yang menyebarkan energi kepada lingkungan, pengembangan alam semesta, sebagai contoh di antaranya. Semua bergerak, bekerja, dan berproses, itulah bentuk ibadah mereka yang bisa kita lihat. Di antara bentuk ibadah batu misalnya adalah dengan meluncur jatuh, sebagaimana ayat, “.. dan di antaranya (batu) ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah” (QS 2:74)

Banyak sekali ayat-ayat tentang alam semesta, dari yang besar mengenai galaksi hingga hewan-hewan kecil seperti semut, semua mengikuti perintah Allah dengan bekerja secara terus menerus. Sehingga kita bekerja pada dasarnya adalah seirama dengan gerak universal alam semesta, seirama dengan sujud alam semesta. Kahlil Gibran dalam Sang Nabi membuat puisi yang sangat indah:

Kau bekerja, supaya langkahmu seiring irama bumi
Serta perjalanan roh jagad ini
Berpangku tangan menjadikanmu orang asing bagi musim,
Serta keluar dari kehidupan itu sendiri
Yang menderap perkasa, megah dalam ketaatannya
Menuju keabadian masa

Bekerja sebagai Pengabdian kepada Allah SWT. Kalau sekedar bekerja, bukankah semua orang melakukan, umat lain melakukannya? Bahkan kaum ateis pun bekerja. Lalu apa bedanya?

Tentu ajaran bekerja para Nabi sangat berbeda. Bekerja dalam ajaran Islam adalah manifestasi dari iman. Bekerja adalah sebagai bagian dari ibadah. Sedang bagi umat yang lain, mungkin hanya sekedar mengisi waktu, mengejar harta, dll.

Berikut secara ringkas ciri bekerja sebagai pengabdian kepada Allah SWT:
1. Motivasi kerja : pengabdian kepada atau mencari ridha Allah SWT
2. Cara kerja : sesuai/tidak bertentangan dengan syariat Islam
3. Bidang kerja : yang halal, baik/ma’ruf
4. Manfaat kerja : kebaikan, kesejahteraan, keselamatan bagi semua (rahmatan lil alamin)

Dengan bekerja sebagai motivasi ibadah, semestinya selalu memberikan yang terbaik. Selalu bekerja semaksimal mungkin, bukan seadanya. Itulah yang disebut sebagai “ihsan” (berbuat baik) atau “itqan”(hasil terbaik). Allah bahkan memerintahkan kita meniru karya Allah dalam bekerja, “… maka berbuat baiklah (fa ahsin) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” (QS 28:77)

Bekerja dengan motivasi di atas semestinya juga akan melahirkan kerja keras, tegar, jujur, dan profesional dalam kondisi apa pun. Berbeda dengan motivasi jabatan misalnya, hanya bekerja ketika ada iming-iming atau konsekuensi jabatan, jika tidak dia akan enggan. Sedang bekerja dengan motivasi ibadah semesteinya akan bekerja dengan semangat meski imbalan langsung tidak nampak, meskipun uang sedikit, meski tidak ada yang melihat, meski tidak dipuji atasan. Karena memang motivasinya adalah pengabdian kepada Allah SWT. Sedang Dia selalu ada, selalu mengawasi, selalu mengetahui apa yang kita lakukan.

Kalau demikian, mengapa bangsa muslim kini justru identik dengan bangsa yang malas, tidak dapat dipercaya, tidak disiplin, kurang etos kerja, bahkan : korup!? Ini kenyataan yang harus kita akui bersama, dan menjadi tugas kita bersama untuk memperbaiki. Mulai dari diri sendiri, di sini dan sekarang!

Ternyata kini kita bekerja jauh dari semangat dan nilai-nilai Islam dan teladan para pendahulu kita. Kita juga memandang agama dengan cara yang salah. Kita menganggap kerja dan ibadah adalah dua hal yang berbeda dan terpisah. Akibatnya adalah sikap mendua (split personality) dalam bekerja. Maka kini kita dapati kenyataan aneh seperti orang yang rajin beribadah (ritual) namun rajin juga menilap aset kantor, bahkan milik masyarakat, tidak jujur, atau suka main terabas.

Kita sudah shalat, namun shalat kita belum mampu membangun karakter sehingga mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Kita belum bisa menjadikan puasa sebagai perisai kita melawan tarikan nafsu-nafsu yang rendah. Kita belum mampu menjadikan haji sebagai total pengabdian kepada Allah SWT.

Masya Allah, kita beragama namun menjauh dari nilai-nilai agama. Kita beribadah ritual namun kita semakin menjauh dari petunjuk Allah. Kita lebih memilih topeng dalam beragama. Kita memilih kulitnya, lalu membuang isinya.

Akhirnya, marilah kita jadikan setiap ayunan langkah kita dalam bekerja sebagai zikir kita kepada Allah SWT. Kita jadikan setiap gerakan tangan kita dalam bekerja sebagai tasbih kita kepadaNya. Kita jadikan setiap ucapan dan pikiran dalam bekerja sebagai sujud dan syukur kita kepada Rabbul Izzati. Amien!
Ditulis oleh: Warsono
(majelismunajat.com)
»»  Baca Selengkapnya...

Yogyakarta-Magelang Tour






Study Tour Siswa-Siswi Madrasah Ibtidaiyah Pulogading Yogyakarta dan Magelang 1 Juni 2011 (Borobudur,Museum Dirgantara,Gembira Loka,Mallioboro)
»»  Baca Selengkapnya...

Siapakah Temanmu ?


“Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat- lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita.


“Apabila engkau berada di tengah-tengah suatu kaum maka pililhlah orang-orang yang balk sebagai sahabat, dan janganlah engkau bersahabat dengan orang-orang jahat sehingga engkau akan binasa bersamanya”
Wanita adalah bagian dari kehidupan manusia, sehingga dia tak akan pernah lepas dari pola interaksi dengan sesama. Terlebih dominasi perasaan yang melekat pada dirinya, membuat dia butuh teman tempat mengadu, tempat bertukar pikiran dan bermusyawarah. Berbagai problem hidup yang dialami menjadikan dia berfikir bahwa, meminta pendapat, saran dan nasehat teman adalah suatu hal yang perlu. Maka teman sangat vital bagi kehidupannya, siapa sih yang tidak butuh teman dalam hidup ini..?.

Namun wanita muslimah adalah wanita yang dipupuk dengan keimanan dan dididik dengan pola interaksi Islami. Maka pandangan Islam dalam memilih teman adalah barometernya, karena dirinya sadar, teman yang baik (shalihah) memiliki pengaruh besar dalam menjaga keistiqomahan agamanya. Selain itu teman shalihah adalah sebenar-benar teman yang akan membawa mashlahat dan manfaat. Maka dalam pergaulannya dia akan memilih teman yang baik dan shalihah, yang benar-benar memberikan kecintaan yang tulus, selalu memberi nasihat, tidak curang dan menunjukan kebaikan. Karena bergaul dengan wanita-wanita shalihah dan menjadikannya sebagai teman selalu mendatangkan manfaat dan pahala yang besar, juga akan membuka hati untuk menerima kebenaran. maka kebanyakan teman akan jadi teladan bagi temannya yang lain dalam akhlak dan tingkah lake. Seperti ungkapan “Janganlah kau tanyakan seseorang pada orangnya, tapi tanyakan pada temannya. karena setiap orang mengikuti temannya”.

Bertolak dari sinilah maka wanita muslimah senantiasa dituntut untuk dapat memilih teman, juga lingkungan pergaulan yang tak akan menambah dirinya melainkan ketakwaan dan keluhuran jiwa. Sesungguhnya Rasulullah juga telah menganjurkan untuk memilih teman yang baik (shalihah) dan berhati-hati dari teman yang jelek.

Hal ini telah dimisalkan oleh Rasulullah melalui ungkapannya:
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau menibeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harmznya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap”.
(Riwayat Bukhari, kitab Buyuu’, Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026)1

Dari petunjuk agamanya, wanita muslimah akan mengetahui bahwa teman itu ada dua macam. Pertama, teman yang shalihah, dia laksana pembawa minyak wangi yang menyebarkan aroma harum dan wewangian. Kedua teman yang jelek laksana peniup api pandai besi, orang yang disisinya akan terkena asap, percikan api atau sesak nafas, karena bau yang tak enak.

Maka alangkah bagusnya nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata,” Hati- ¬hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru, dan manusia seperti serombongan burung yang mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena dia akan celaka, hati- hatilah karena usaha preventif lebih mudah dari pada mengobati “.

Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, carilah orang yang bisa membantumu untuk mencapai apa yang engkau cari . Dan bisa mendekatkan diri pada Rabbmu, bisa memberikan saran dan petunjuk untuk mencapai tujuan muliamu.
Maka perhatikanlah dengan detail teman-¬temanmu itu, karena teman ada bermacam-macam
• ada teman yang bisa memberikan manfaat
• ada teman yang bisa memberikan kesenangan (kelezatan)
• dan ada yang bisa memberikan keutamaan.

Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya. Adapun jenis ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Adanya interaksi timbal balik karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Namun jenis ini pula yang sulit dicari. (Hilyah Tholabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaid halarnan 47-48)

Memang tidak akan pernah lepas dari benak hati wanita muslimah yang benar-benar sadar pada saat memilih teman, bahwa manusia itu seperti barang tambang, ada kualitasnya bagus dan ada yang jelek. Demikian halnya manusia, seperti dijelaskan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam :

” Manusia itu adalah barang tambang seperti emas dan perak, yang paling baik diantara mereka pada zaman jahiliyyah adalah yang paling baik pada zaman Islam jika mereka mengerti. Dan ruh- ruh itu seperti pasukan tentara yang dikerahkan, yang saling kenal akan akrab dan yang tidak dikenal akan dijauhi ” (Riwayat Muslim)

Wanita muslimah yang jujur hanya akan sejalan dengan wanita-wanita shalihah, bertakwa dan berakhlak mulia, sehingga tidak dengan setiap orang dan sembarang orang dia berteman, tetapi dia memilih dan melihat siapa temannya. Walaupun memang, jika kita mencari atau memilih teman yang benar-benar bersih sama sekali dari aib, tentu kita tidak akan mendapatkannya. Namun, seandainya kebaikannya itu lebih banyak daripada sifat jeleknya, itu sudah mencukupi.

Maka Syaikh Ahmad bin ‘Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi atau terkenal dengan nama Ibnu Qudamah AlMaqdisi memberikan nasehatnya juga dalam memilih teman: “Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria¬-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat- sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita.

Ada pula orang yang berteman karena kepentingan Dien (agama), dalarn hal inipun ada yang karena ingin mengambil faidah dari ilmu dan amalnya, karena kemuliaannya atau karena mengharap pertolongan dalam berbagai kepentingannya. Tapi, kesimpulan dari semua itu orang yang diharapkan jadi teman hendaklah memenuhi lima kriteria berikut; Dia cerdas (berakal), berakhlak baik, tidak fasiq, bukan ahli bid’ah dan tidak rakus dunia. Mengapa harus demikian ?, karena kecerdasan adalah sebagai modal utama, tak ada kabaikan jika berteman dengan orang dungu, karena terkadang ia ingin menolongmu tapi malah mencelakakanmu. Adapun orang yang berakhlak baik, itu harus. Karena terkadang orang yang cerdaspun kalau sedang marah atau dikuasai emosi, dia akan menuruti hawa nafsunya. Maka tak baik pula berteman dengan orang cerdas tetapi tidak berahlak. Sedangkan orang fasiq, dia tidak punya rasa takut kepada Allah. Dan barang siapa tidak takut pada Allah, maka kamu tidak akan aman dari tipu daya dan kedengkiannya, Dia juga tidak dapat dipercaya. Kalau ahli bid’ah jika kita bergaul dengannya dikhawatirkan kita akan terpengaruh dengan jeleknya kebid’ahannya itu. (Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah hal 99).

Maka wanita muslimah yang benar-benar sadar dan mendapat pancaran sinar agama, tidak akan merasa terhina akibat bergaul dengan wanita-wanita shalihah meskipun secara lahiriyah, status sosial clan tingkat materinya tidak setingkat. Yang menjadi patokan adalah substansi kepribadiannya dan bukan penampilan dan kekayaan atau lainnya. “Pergaulan anda dengan orang mulia menjadikan anda termasuk golongan mereka, karenanya janganlah engkau mau bersahabat dengan selain mereka”.

Oleh karena itu datang petunjuk Al Qur’an yang menyerukan hal itu :
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang¬-orang yang menyeru Rabbnya dipagi dan disenja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”
(Al-Kahfi:28)

»»  Baca Selengkapnya...

Hakikat kenabian dan ciri-cirinya

Karya Syah Waliyullah al Dihlawi ra
(beliau adalah mujadid abad XII)
Dalam Kitab Hijajul Kiramah

Engkau harus mengetahui bahwa tingkat tertinggi manusia adalah “orang-orang yang diberi pemahaman” (mufahhamun), dan mereka adalah orang yang dapat menggabungkan dua kekuatan – kemalaikatan dan kebinatangan – yang ia miliki, dan sisi kemalaikatannya lebih mendominasi. Mereka diutus untuk menciptakan tatanan yang dikehendaki oleh seruan langit (da’iyah haqqaniyyah), dan ilmu Ilahi, serta berbagai keadaan Dewan malaikat tertinggi yang memancar kepada mereka. Ciri-ciri “orang yang diberikan pemahaman” di antaranya adalah: ia memiliki watak yang seimbang dan watak yang harmonis dan bahwa wataknya itu tidak digerakkan secara berlebihan oleh pendapat-pendapat yang parsial (ara juz’iyyah), tidak oleh pemikiran yang berlebihan sehingga ia ditarik dengan cara apapun dari yang universal kepada yang parsial, atau dari ruh kepada bentuk. Di dalam dirinya juga tidak terdapat kebodohan berlebihan yang tidak dapat ditanggalkan untuk kemudian beranjak dari yang parsial menuju yang universal, dan dari bentuk kepada ruh. Ia adalah seorang yang sangat patuh menjalankan perbuatan-perbuatan yang mendapat petunjuk, memiliki tingkah laku yang baik di dalam perbuatan-perbuatan ibadah, dan adil  dalam memperlakukan manusia. Ia mencintai keteraturan alam semesta dan cenderung kepada kemaslahatan umum; tidak menyakiti seorangpun kecuali dalam suatu keadaan ketika kebaikan umum tergantung kepadanya atau ketika kemaslahatan umum memaksanya untuk menyakitinya. Ia tetap konsisten dalam kecenderungan kepada Yang Gaib. Pengaruh kecenderungannya ini dapat dilihat dalam perkataannya dan wajahnya, juga dalam semua wataknya, sehingga ia senantiasa mendapat pertolongan dari Yang Gaib. Perbuatan spiritual yang paling sedikit yang terbuka baginya adalah kedekatan kepada Allah dan ketenangan (sakinah) yang tidak tersingkapkan bagi orang lain.

Orang-orang “yang diberi pemahaman” (Mufahhamuun) ada beberapa macam dan kapasitas mereka berbeda-beda:

1.     1. Orang yang mencapai kapasitas paling tinggi dalam menerima ilmu-ilmu dari Allah untuk memperbaiki jiwa dengan jalan beribadah. Orang seperti ini adalah “orang yang sempurna” (kamil).

2.     2. Orang yang mencapai keadaan paling tinggi dalam menerima kebaikan-kebaikan yang diusahakan dan ilmu-ilmu tentang pengaturan urusan-urusan domestic dan sebagainya. Orang yang seperti ini adalah “orang yang bijaksana” (hakim).

3.      3. Orang yang biasanya memahami kebijakan-kebijakan yang komprehensif, kemudian berhasil menegakkan keadilan di antara manusia dan membela mereka dari kezaliman. Orang yang seperti ini disebut “Khalifah”.
4.      4. Orang yang telah mendapatkan kunjungan Dewan Malaikat Tertinggi, mendapatkan pengajaran mereka, berbicara dengan mereka, melihat penampakan mereka, dan orang yang mampu menjelmakan berbagai macam kemuliaan spiritual (karamat). Mereka ini dikenal sebagai “orang yang telah dibantu oleh ruh suci”.

5.      5. Orang yang lidah dan hatinya telah disinari, sehingga manusia disekitarnya mendapat keuntungan dari perkumpulan yang ia selenggarakan dan dari khutbah-khutbahnya. Ia juga mampu mentransfer ketenangan dan cahaya kepada murid-murid dan sahabat-sahabatnya, sehingga mereka mencapai, berkat perantaraannya, tingkat kesempurnaan yang tinggi, sementara ia sendiri tidak pernah berhenti memberikan petunjuk dan bimbingan kepada mereka. Orang seperti ini disebut “pemberi petunjuk yang murni” (hadi muzakki).

6.     6. Orang yang ilmunya terutama berisi pengetahuan mengenai peraturan-peraturan bagi masyarakat keagamaan serta berbagai keuntungan darinya, dan orang yang mendorong (mereka) untuk melakukan peraturan-peraturan itu. Orang seperti ini disebut “pemimpin” (imam).

7.      7. Orang yang diberi ilham untuk memberitahu manusia mengenai bencana yang telah ditentukan bagi mereka di dunia ini, atau orang yang mengetahui bahwa Allah telah mengutuk suatu umat dan memberitahu mereka mengenai hal ini, atau yang melepaskan diri dari jiwa rendahnya pada waktu-waktu tertentu, sehingga ia mampu mengetahui apa yang akan terjadi di dalam kubur dan pada hari kiamat, dan yang memberitahu mereka mengenai hal-hal ini. Orang pada tingkatan ini disebut “pemberi peringatan” (mundzir).

8.      8. Jika kebijaksanaan Ilahi mengharuskan bahwa orang “yang diberikan pemahaman” diutus kepada umat manusia, sehingga ia menjadi sebab bagi dikeluarkannya umat dari kegelapan ke dalam cahaya, maka Allah mengharuskan hamba-hambaNya untuk menerima orang ini, lahir dan batin. Dewan Malaikat Tertinggi akan merasa puas dan mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengikuti dan menyertai dia, dan mereka menyediakan kutukan bagi orang-orang yang menentang dan menolaknya. Allah telah memberitahu umat mengenai hal ini dan membuat mereka mematuhinya. Orang yang seperti itu adalah “seorang nabi”. Tingkatan nabi yang terbesar adalah yang risalahnya mempunyai dimensi tambahan yang sesuai dengan tujuan Allah swt. Untuknya, yaitu bahwa ia harus menjadi sebab untuk dikeluarkannya umat “dari kegelapan kepada cahaya” dan bahwa umatnya menjadi “umat terbaik yang dikeluarkan bagi umat manusia”, sehingga risalah yang ia sampaikan harus dilengkapi dengan risalah tambahan.

Syah Waliyullah al-Dihlawi, Argumen Puncak Allah, Judul aslinya Hujjah Allah al Balighah pada Bab 55 Hakikat Kenabian dan Ciri-Cirinya (Serambi: hal. 356-359).
»»  Baca Selengkapnya...

Berita Dunia

Berita Nasional

Lowongan Kerja

Lowongan Pelaut